Underground Tauhid -
Belum hilang dari ingatan kita dinamika penggulingan rezim Husni
Mubarak pada 2011 lalu di Mesir, kini negara ini kembali bergejolak dan
memaksa Presiden Mohammad Morsi digulingkan dari kursinya. Mesir
membutuhkan 10.000 tahun hingga akhirnya memiliki Presiden pertama yang
terpilih dari hasil demokrasi, dan ia akhirnya hanya bertahan selama 1
tahun saja. Atas nama demokrasi, seorang Mubarak turun dan seorang Morsi
naik; lalu atas dasar ‘demokrasi’ pula Morsi harus pula turun.
Apa yang terjadi di Mesir adalah suatu bentuk pelecehan demokrasi di
era modern seperti saat ini. Terlepas dari pro dan kontra kepemimpinan
Morsi, mekanisme kudeta militer bukanlah sesuatu yang layak kita temui
di dunia dewasa ini. Ketika memang ada ketidakpuasan dalam kepemimpinan
seorang Presiden yang terpilih secara demokratis, maka mekanisme
demokrasi seperti pemilu ulang atau pengembalian kekuasaan kepada
konstitusi adalah jalan yang bijak.
Ironisnya, Amerika Serikat yang selama ini aktif kampanye demokrasi,
justru mengatakan apa yang terjadi di Mesir bukan sebuah kudeta militer,
sikap ini sangat berbeda dengan apa yang mereka katakan kepada
pemerintah junta militer di Myanmar.
Kelompok Oposisi Mesir kemudian mengeluarkan beberapa dalih kenapa
Morsi ‘pantas’ diturunkan. Kegagalan mengelola ekonomi dan distribusi
kekuasaan hanya pada kelompok tertentu saja menjadi alasan. Ditambah
dengan ‘hitung-hitungan’ baru bahwa Morsi hanya dipilih oleh 17% rakyat
Mesir, angka ini muncul dari perbandingan jumlah pemilih Morsi dengan
jumlah penduduk Mesir (memasukkan golput dan penduduk tidak punya hak
pilih), jelas hitungan ini tidak relevan karena faktanya Morsi menang
lebih dari 50% dalam pemilu yang diselenggarakan tahun lalu.
Waktu satu tahun rasanya juga terlalu cepat untuk menilai apakah
sebuah pemerintahan sudah berjalan dengan baik atau belum. Apalagi bila
mempertimbangkan bahwa Mesir kehilangan cukup banyak pemasukan karena
diputusnya subsidi oleh beberapa negara dan juga baru dimulainya babak
baru pembangunan Mesir yang demokratis.
Atas nama penyelamatakan bangsa, militer Mesir bertindak berlebihan
hingga akhirnya mereka menggulingkan dan ‘menghilangkan’ Morsi.
Demonstrasi pun silih berganti turun ke jalan, mereka yang kontra Morsi
telah kembali ke rumah, sedangkan mereka yang pro Morsi kini memenuhi
jalan-jalan di Kairo dan kota besar di Mesir. Namun, militer memiliki
standar ganda, mereka justru melakukan tindakan represif dan bahkan
hingga menuju tindakan ‘pembantaian rakyat sipil’.
Apa yang terjadi di Mesir adalah sebuah tragedi kemanusiaan di dunia
modern, dan masyarakat dunia telah menjadi saksi dari tidakan biadab
terhadap demonstran yang menuntut hadirnya demokrasi di bumi Mesir. Apa
yang dilakukan oleh para demonstran merupakan perjuangan yang mereka
yakini dapat membawa Mesir menjadi negara demokratis, modern, dan
mandiri.
Masih teringat, dua tahun yang lalu, rakyat Mesir telah berkonsensus
bahwa militer haruslah menepi dari pemerintahan dan proses demokrasi
harus ditegakkan. Namun kini lagi-lagi atas nama demokrasi ada sebagian
rakyat yang menistakan konsensus tersebut sehingga berujung pada sebuah
tragedi kemanusiaan yang luar biasa.
Negara-negara di dunia perlu bersikap tegas terhadap tragedi
kemanusiaan di Mesir. Tidak hanya sebuah pernyataan sikap melainkan juga
aksi nyata seperti lobi internasional, dukungan kemanusiaan dan
penyebaran opini dukungan terhadap Mesir. Sebagai negara yang terkena
dampak dari musim semi di Arab, Mesir sempat merasakan indahnya musim
semi tersebut selama satu tahun terakhir, rakyat mesir bisa merasakan
hidup dalam era demokrasi.
Namun kini, musim semi tersebut telah beralih menjadi musim panas
yang “panas”-nya tak tertahankan hingga memakan korban jiwa. Atas nama
demokrasi, dunia harus campur tangan demi penyelesaian konflik.
Dukungan kemanusiaan terhadap rakyat Mesir bukan berarti sebuah
dukungan politik terhadap Mursi dan kelompok Ikhwanul Musliminnya,
tetapi merupakan sebuah dukungan kemanusiaan universal yang menjadi
tanggung jawab semua insan manusia. Mengutip pembukaan UUD 1945, “…
bahwa penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai
dengan perikemanusiaan dan perikeadilan”.
Apa yang terjadi di Mesir adalah dua dimensi ‘penjajahan’; pertama,
pendekatan senjata dari militer kepada rakyat sipil, dan kedua, besarnya
intervensi asing dalam dinamika demokratisasi di Mesir. Melihat
dinamika ini, saya mengangkat beberapa pesan kepada beberapa pihak.
Pesan ini adalah pesan kemanusiaan kepada rakyat Mesir yang sedang
mengupayakan kehadiran demokrasi di negeri tersebut.
Kepada Publik Umum, kepedulian kita kepada Mesir adalah bentuk
simpati kemanusiaan yang sudah sewajarnya kita berikan. Transisi Mesir
cukup serupa dengan apa yang dialami Indonesia pada 1998, Indonesia
sangat beruntung karena militernya bisa bertindak bijak dan
mengesampingkan tindakan represif. Untuk itu, kita perlu mendukung Mesir
agar kembali pada jalur demokratisasi yang akan membawa negara ini
menjadi negara yang berpengaruh di kawasan Timur Tengah. Kita tentunya
sepakat bahwa pendekatan senjata adalah tindakan yang tidak sesuai lagi
di era modern saat ini, untuk itu segala bentuk represif dari militer
kepada rakyat sipil perlulah di tolak dengan tegas.
Kepada Pemerintah Indonesia, perlu kembali mengingat bahwa politik
negara kita adalah Politik Bebas aktif, bukan diplomasi sunyi yang kerap
dilakukan seperti saat ini. Bebas dalam artian Indonesia tidak memihak
kelompok tertentu di Mesir, melainkan memihak pada kemanusiaan. Aktif
dalam artian Indonesia melakukan diplomasi secara aktif ke negara lain
untuk menyerukan penghentian kudeta militer yang ternyata berdampak
buruk kepada Mesir dan rakyatnya. Sikap tegas, dan kontribusi aktif
adalah fitrah dari Indonesia yang di cita-citakan oleh para pendiri
bangsa.
Kepada Dunia Internasional, dunia telah bersepakat tentang demokrasi
dan kemanusiaan sebagai nilai yang diusung dalam era modern pasca perang
dunia II, sehingga segala dukungan terhadap upaya demokratisasi dan
kemanusiaan sangat diperlukan. Segala pelecehan terhadap demokrasi dan
pengkhianatan kemanusiaan perlu ditentang dengan tegas. Apa yang terjadi
di Mesir adalah kenyataan pahit bahwa sebuah negara yang sedang dalam
proses transisi, kembali harus tercoreng sejarahnya karena sikap rezim
militer yang tak bisa menahan diri.
Atas nama demokrasi, perlukah Mesir bersimbah darah? Padahal
demokrasi mengajarkan kepada umat manusia tentang pentingnya adu
gagasan, bukan penindasan bersenjata. Bukankah atas nama demokrasi dan
kemanusiaan, rakyat sipil Mesir perlu ikut kita selamatkan, sebagaimana
mereka pernah ikut menyelamatkan kita dengan pengakuan sebagai negara
merdeka berdaulat di awal kemerdekaan ketika negara-negara lain masih
melihat kita sebagai budak penjajahan?
Oleh : Ridwansyah Yusuf Achmad
Keterangan penulis:Penulis adalah Mahasiswa Pascasarjana pada International Institute of Social Studies of Erasmus University Rotterdam dan Sekretaris Jenderal PPI Belanda. Tulisan ini merupakan pendapat pribadi, tidak mewakili lembaga. (Sumber:Detik)
Red : Abdul Aziz Al Makassary
Share
|
0 komentar:
Posting Komentar
kritik dan saran diterima
Silahkan berkomentar. . .